Rabu, 24 Mei 2017

Djuanda Menjadi Saksi



“DJUANDA MENJADI SAKSI”
                                                Karya: Rika Andriani
 “Lelakon tresnaku tak lilo kanti iklas atiku nanging ra biso mbalekne
Sliramu  soko atiku Sing tansah tak tembang lelakon
Tresno nang njero atiku mergo isih abaot ngilangke sliramu neng njero kalbu.”
            “Healah suarane apik tenan to cah ayu.. tapi iki wes wengi lho nduk, kok isih nembang neng bale, ayo melebu mengko masuk angin lho”. Dawuh si mbah mengagetkan ku, aku hanya diam masih membelakangi si mbah sambil perlahan menghapus sisa air mataku. Aku pun mengikuti langkah si mbah masuk ke dalam rumah. “Lhoh… iki napo iki kok putune si mbah koyok bar nangis, ngopo nduk?”. Aku kaget ternyata si mbah tahu jika aku menangis. “oh mboten kok mbah kula mboten mular, niki wau kula kelilipan” Aku mencoba berbohong menutupi kesedihanku. “Mrene nduk..” Si mbah mengajaku duduk di kursi tangannya yang sudah tua membelai rambutku aku pun tak dapat menyembunyikan tangis sedihku “Mbah wes ngerti, winggi Bagus sowan mrene arepe jaluk pangapura karo cah ayu ku”. Sejenak aku tak dapat menjawab terbayang saat ia meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas tanpa tahu apa salahku, bagiku ia hanya lah memberi harapan palsu, semua janjinya kosong tak dapat di buktikan. Bagus ia telah tiga bulan menghilang tanpa kabar setiap aku mengirim pesan tak pernah satupun pesanku yang dibalasnya, telfonpun tak pernah diangkat hingga aku lelah menanti, dan sekarang ia kembali datang membuka luka lama dihati. “Sampun mbah, kula pun nyepurani Bagus, tapi ati kula tasik rengko.” Hanya jawaban itu yang dapat ku jelaskan pada mbahku saat ini selebihnya aku sudah tak mampu lagi barkata. “Yo wis, inget yo cah ayu lebih baik memaafkan dari pada menyimpan dendam” Ucap mbah.“injih mbah,ehm… mbah kula tilem rimiyen njih, mbenjing tasik wonten kuliah” kataku sambil melankahkan kaki membuka tirai kamarku,”Oh iyo nduk, mau Fikri nelvon menyang omah, jerene hpne sampean ora aktif” Langkah kaki ku langsung terhenti saat mbah menyebut nama Fikri.
                                                                        *******
            Hari bergulir dengan sangat cepat, hari ini pun tak terasa beranjak senja burung-burung malam berterbangan mencari dahan untuk dihinggapi. Aku berjalan seorang diri di taman setelah aku melatih anak-anak di sanggar budaya lelah rasanya namun setidaknya aku dapat menghibur diri dan tersenyum bersama anak-anak lugu itu bahkan aku sering di beri bunga mawar merah oleh salah satu anak didikku .“Mbak Dinda..” sapa anak perempuan berumur enam tahun itu dengan wajah ceria dan di tanganya terdapat dua tangkai mawar merah dan kuning bisa ku tebak bahwa mawar itu akan di beri pada ku “Iya, ada apa Nis?” tanyaku sambil tersenyum padanya “Ini mbak, untuk mbak Dinda” ku terima dua tangkai mawar itu “Mawar lagi? Nisa.. kamu dapat dari mana mawar ini?” tanyaku penasaran tapi ia hanya diam kebingungan menjawabku lalu tiba-tiba ia lari dari hadapanku aku pun berusaha mengejarnya “Nisa, jangan lari nanti kamu jatuh..” sambil tetap mengejarnya kulihat Nisa menemui seseorang bertubuh tegap tinggi namun aku tak tau pasti siapa orang itu karena ia membelakangiku, ku melangkah mendekati sosok itu Nisa pun telah berlari lagi bersama teman-temannya bermain di area sanggar, aku semakin dekat ia berbalik dan menatapku “Bagus…” ucapku lirih namun dapat terdengar olehnya tak kusangka ia dihadapanku, jantungku berdesir seiringan dengan angin yang menerpa sebagian rambutku. Ia masih diam tapi tatapan matanya seakan memintaku untuk tetap tinggal, tanpa pikir panjang aku langsung pergi mempercepat langkah kakiku tanpa menghiraukan ia memanggil namaku berkali-kali “Dinda..Din,Dinda… aku mohon beri aku kesempatan aku akan menjelaskan semuanya” langkahkanya terus mengikutiku, kuhentikan langkahku ia berdiri di depanku, “Aku sudah tahu kang, kang mas pun mboten usah cari Dinda lagi kang mas lebih baik menuruti apa kata ibu-bapak mas Bagus mawon, mboten wonten tiyang sepah ingkang badhe njurumusaken putrane” ucapku dengan lugas ku tatap ia seolah tersentak mendengar penuturanku “Dinda tahu dari mana masalah itu?” tanyanya “Fikri, Mas Fikri sudah pernah cerita ke Dinda waktu itu mas Fikri sowan ke rumah Dinda karena mbah cerita keadaan Dinda yang sering melamun dan sering sakit.” Semilir angin menjadi saksi pertemuan aku dan mas Bagus, “Din, ibu-bapakku memang melarangku bersamamu tapi itu pun aku tak mengerti alsannya mengapa, aku menghilang hanya untuk berpikir aku butuh waktu, saat itu aku mencoba melupakanmu tapi aku belum bisa, Aku isih tresno marang sampeyan Dinda, Aku jaluk pangapura sing akeh yen nate nglarani atine Dinda, apuranen Din” ucapnya tertunduk menyesali “Injih mas, Dinda pun nyepurani kang mas” kataku penuh keiklasan karena memang aku telah memaafkanya dari dulu dan mencoba mengerti keadaannya hubungan kami pun membaik seperti dulu namun aku rasakan ada yang berbeda entah apa itu.
                                                                        **************
            Waktu berganti, begitupun cerita berganti seiring dengan berputarnya rotasi bumi yang menyebabkan pergantian siang dan malam, mengukir kisah demi kisah menjadi rangkaiang cerita dan menjadi kenangan entah itu indah ataupun pahit. K pandangi wajahku yang telah di rias anggun di cermin tersenyum manis tiba-tiba mbah datang membuka tirai kamarku “Duh… bocah kok ayumen, selamat ya nduk sedilut engkas dadi sarjana, dadi guru mbah bangga marang sampeyan nduk” ucap si mbah menatapku di dalam cermin, iya hari ini aku akan di wisuda menjadi sarjana dan di belakang namaku akan menyangdang gelar Dinda Widyastika, S.Pd. , ku tatap wajah perempuan di depanku meski ia telah sepuh namun diwajahnya masih ada guratan kecantikannya, kecantikan seorang warenggana ketika masih muda mbah memang seorang sinden dan Alm. mbah kakungku adalah seorang seniman Jawa namun beliau telah meninggal ketika aku berumur tiga tahun, sejak mbah kakung meninggal, mbah putri meneruskan mengajar di sanggar budaya pendirian mbah kakung semasa muda tak heran jika aku dapat nembang dengan sangat lancar. Sejak kecil aku telah diasuh oleh mbah putri dan mbah kakung karena ibu dan bapak bekerja diluar Jawa dan menetap di sana sesekali mereka mengunjungiku di sini.
“Nduk, kapan sampeyan nyusul kayak mbak yu mu Linda iku, wes duwe garwo” aku tersentak kaget mbah bertanya seperti itu padaku “Mbah, kula kan tasik nembe lulus kuliah, mengke mawon lah mbah njih, hehehehe” mbah pun tersenyum mendengar kata-kataku.
Terdengar hiruk pikuk bahagia disiang ini. memakai toga itu membuatku merasa bangga terlebih dapat membuat mbah tersenyum semakin melengkapi kebahagiaanku.
“Mbak Dinda..” sapa seorang gadis perparas cantik membawa buket bunga lily, aku mencoba mengingat siapa ia “Mbak Dinda lupa ya? Aku Nania mbak” katanya tersenyum “Nania? Maaf mbak pangling sama sampeyan makin cantik ya sekarang” aku teringat sekarang “Selamat ya mbak, mbak Dinda ini ada titipan dari mas Fikri jangan lupa suratnya dibaca.” Kuterima buket bunga lily yang terdapat sepucuk surat yang terbungus rapi dalam amplop berwarna hijau muda warna kesukaanku, tak kusangka ia mengirim buket ini “Mbak.. Mas Fikri menitipkan buket ini ke Namia karena Mas Fikri tadi pagi ada tugas ke Solo  tapi katanya cuma sementara kok, oh iya mbak, ibu titip salam katanya pingin mbak Dinda sowan ke rumah lagi”
“Waalaikum salam, mbak titip salam balik keibu ya, insyallah jika ada waktu nanti ke sana terimakasih ya Nania buketnya” ucapku bahagia.
                                                                        ********
             Sepuluh tahun wus lumaku tansah ndak simpen rapet njroning kalbu
Ora bisa luntur dening lumaking wektu amerga iku tulisan-tulisan Gusti kang kudu dak lakoni
ora bisa ilang esem manismu ora bakal musna sorot netramu pra dak selaki aku nate nyimpen rasa marang Dinda.
Din.. sak tenane aku tresna marang sampeyan, Apa sampeyan isih gelem ngenteni aku lan kluwargaku sowan menyang omahe sampeyan, Aku kepingin sampeyan sing ngancani urip lan matiku.
            Kubuka surat dari Fikri, tak kusangka ternyata ia selama ini mencintai aku, kami bersahabat sudah lama aku mengenalnya saat SMP ketika SMA kami berpisah dan aku mengenal temannya yaitu Bagus sejak itu hubungan kami semakin dekat. Sekarang aku semakin bimbang mas Bagus juga hendak melamarku.
“Nduk, Dinda..  mbah ngerti iki pilihan sing abot kanggo sampeyan, ana pria loro sing kepingin nglamar Dinda podo-podo baguse, sing siji penguasaha wis mapan lan Bagus,  guru coba sampeyan pilih nganggo ati ojo nganti sampeyan salah pilih amergo iki kanggo selawase” kata mbah saat aku menceritakan isi surat dari Dani namun aku hanya diam.
            Satu minggu sesesudahnya aku memutuskan menyusul ibu dan bapak di Kalimantan, aku juga ada penempatan kerja disuatu sekolah pedalaman di sana, ku langkahkan kaki ku sungguh berat rasanya meninggalkan mbah di rumah sendirian namun mbah selalu mendukungku untuk tetap menerima tawaran kerja itu “Nduk, cah ayu ati-ati ya, mbah bakalan kangen banget karo cah ayu ku tapi wes Dinda kudu tetep budhal, iki tugas mulia nduk” ucapnya tegar membuatku meneteskan air mata “injih mbah, kula bakal cepet wangsul mriki maleh” dan dengan berat hati mbah melepaskan pelukanku.
“Dinda.. sampeyan dak enteni tekamu ing tanah Jawa iki, aku bakal ngenteni jawabmu.”
Kulangkah kakiku, bandara Djuanda Surabaya menjadi saksi perpisahanku, mbah, Fikri, dan Bagus serta jawaban yang masih kusimpan dalam kalbu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar