“DJUANDA MENJADI SAKSI”
Karya:
Rika Andriani
“Lelakon
tresnaku tak lilo kanti iklas atiku nanging ra biso mbalekne
Sliramu
soko atiku Sing tansah tak tembang
lelakon
Tresno
nang njero atiku mergo isih abaot ngilangke sliramu neng njero kalbu.”
“Healah
suarane apik tenan to cah ayu.. tapi iki wes wengi lho nduk, kok isih nembang
neng bale, ayo melebu mengko masuk angin lho”. Dawuh si mbah mengagetkan ku,
aku hanya diam masih membelakangi si mbah sambil perlahan menghapus sisa air
mataku. Aku pun mengikuti langkah si mbah masuk ke dalam rumah. “Lhoh… iki napo
iki kok putune si mbah koyok bar nangis, ngopo nduk?”. Aku kaget ternyata si
mbah tahu jika aku menangis. “oh mboten kok mbah kula mboten mular, niki wau
kula kelilipan” Aku mencoba berbohong menutupi kesedihanku. “Mrene nduk..” Si
mbah mengajaku duduk di kursi tangannya yang sudah tua membelai rambutku aku
pun tak dapat menyembunyikan tangis sedihku “Mbah wes ngerti, winggi Bagus sowan
mrene arepe jaluk pangapura karo cah ayu ku”. Sejenak aku tak dapat menjawab
terbayang saat ia meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas tanpa tahu apa
salahku, bagiku ia hanya lah memberi harapan palsu, semua janjinya kosong tak
dapat di buktikan. Bagus ia telah tiga bulan menghilang tanpa kabar setiap aku
mengirim pesan tak pernah satupun pesanku yang dibalasnya, telfonpun tak pernah
diangkat hingga aku lelah menanti, dan sekarang ia kembali datang membuka luka
lama dihati. “Sampun mbah, kula pun nyepurani Bagus, tapi ati kula tasik
rengko.” Hanya jawaban itu yang dapat ku jelaskan pada mbahku saat ini
selebihnya aku sudah tak mampu lagi barkata. “Yo wis, inget yo cah ayu lebih
baik memaafkan dari pada menyimpan dendam” Ucap mbah.“injih mbah,ehm… mbah kula
tilem rimiyen njih, mbenjing tasik wonten kuliah” kataku sambil melankahkan
kaki membuka tirai kamarku,”Oh iyo nduk, mau Fikri nelvon menyang omah, jerene
hpne sampean ora aktif” Langkah kaki ku langsung terhenti saat mbah menyebut
nama Fikri.
*******
Hari
bergulir dengan sangat cepat, hari ini pun tak terasa beranjak senja
burung-burung malam berterbangan mencari dahan untuk dihinggapi. Aku berjalan
seorang diri di taman setelah aku melatih anak-anak di sanggar budaya lelah
rasanya namun setidaknya aku dapat menghibur diri dan tersenyum bersama
anak-anak lugu itu bahkan aku sering di beri bunga mawar merah oleh salah satu
anak didikku .“Mbak Dinda..” sapa anak perempuan berumur enam tahun itu dengan
wajah ceria dan di tanganya terdapat dua tangkai mawar merah dan kuning bisa ku
tebak bahwa mawar itu akan di beri pada ku “Iya, ada apa Nis?” tanyaku sambil
tersenyum padanya “Ini mbak, untuk mbak Dinda” ku terima dua tangkai mawar itu
“Mawar lagi? Nisa.. kamu dapat dari mana mawar ini?” tanyaku penasaran tapi ia hanya
diam kebingungan menjawabku lalu tiba-tiba ia lari dari hadapanku aku pun
berusaha mengejarnya “Nisa, jangan lari nanti kamu jatuh..” sambil tetap
mengejarnya kulihat Nisa menemui seseorang bertubuh tegap tinggi namun aku tak
tau pasti siapa orang itu karena ia membelakangiku, ku melangkah mendekati
sosok itu Nisa pun telah berlari lagi bersama teman-temannya bermain di area
sanggar, aku semakin dekat ia berbalik dan menatapku “Bagus…” ucapku lirih
namun dapat terdengar olehnya tak kusangka ia dihadapanku, jantungku berdesir
seiringan dengan angin yang menerpa sebagian rambutku. Ia masih diam tapi
tatapan matanya seakan memintaku untuk tetap tinggal, tanpa pikir panjang aku
langsung pergi mempercepat langkah kakiku tanpa menghiraukan ia memanggil
namaku berkali-kali “Dinda..Din,Dinda… aku mohon beri aku kesempatan aku akan
menjelaskan semuanya” langkahkanya terus mengikutiku, kuhentikan langkahku ia
berdiri di depanku, “Aku sudah tahu kang, kang mas pun mboten usah cari Dinda
lagi kang mas lebih baik menuruti apa kata ibu-bapak mas Bagus mawon, mboten
wonten tiyang sepah ingkang badhe njurumusaken putrane” ucapku dengan lugas ku
tatap ia seolah tersentak mendengar penuturanku “Dinda tahu dari mana masalah
itu?” tanyanya “Fikri, Mas Fikri sudah pernah cerita ke Dinda waktu itu mas
Fikri sowan ke rumah Dinda karena mbah cerita keadaan Dinda yang sering melamun
dan sering sakit.” Semilir angin menjadi saksi pertemuan aku dan mas Bagus,
“Din, ibu-bapakku memang melarangku bersamamu tapi itu pun aku tak mengerti
alsannya mengapa, aku menghilang hanya untuk berpikir aku butuh waktu, saat itu
aku mencoba melupakanmu tapi aku belum bisa, Aku isih tresno marang sampeyan
Dinda, Aku jaluk pangapura sing akeh yen nate nglarani atine Dinda, apuranen
Din” ucapnya tertunduk menyesali “Injih mas, Dinda pun nyepurani kang mas”
kataku penuh keiklasan karena memang aku telah memaafkanya dari dulu dan
mencoba mengerti keadaannya hubungan kami pun membaik seperti dulu namun aku
rasakan ada yang berbeda entah apa itu.
**************
Waktu
berganti, begitupun cerita berganti seiring dengan berputarnya rotasi bumi yang
menyebabkan pergantian siang dan malam, mengukir kisah demi kisah menjadi
rangkaiang cerita dan menjadi kenangan entah itu indah ataupun pahit. K
pandangi wajahku yang telah di rias anggun di cermin tersenyum manis tiba-tiba
mbah datang membuka tirai kamarku “Duh… bocah kok ayumen, selamat ya nduk
sedilut engkas dadi sarjana, dadi guru mbah bangga marang sampeyan nduk” ucap
si mbah menatapku di dalam cermin, iya hari ini aku akan di wisuda menjadi
sarjana dan di belakang namaku akan menyangdang gelar Dinda Widyastika, S.Pd. ,
ku tatap wajah perempuan di depanku meski ia telah sepuh namun diwajahnya masih
ada guratan kecantikannya, kecantikan seorang warenggana ketika masih muda mbah
memang seorang sinden dan Alm. mbah kakungku adalah seorang seniman Jawa namun
beliau telah meninggal ketika aku berumur tiga tahun, sejak mbah kakung
meninggal, mbah putri meneruskan mengajar di sanggar budaya pendirian mbah
kakung semasa muda tak heran jika aku dapat nembang dengan sangat lancar. Sejak
kecil aku telah diasuh oleh mbah putri dan mbah kakung karena ibu dan bapak
bekerja diluar Jawa dan menetap di sana sesekali mereka mengunjungiku di sini.
“Nduk, kapan sampeyan nyusul kayak mbak yu mu Linda
iku, wes duwe garwo” aku tersentak kaget mbah bertanya seperti itu padaku
“Mbah, kula kan tasik nembe lulus kuliah, mengke mawon lah mbah njih, hehehehe”
mbah pun tersenyum mendengar kata-kataku.
Terdengar hiruk pikuk bahagia disiang ini. memakai
toga itu membuatku merasa bangga terlebih dapat membuat mbah tersenyum semakin
melengkapi kebahagiaanku.
“Mbak Dinda..” sapa seorang gadis perparas cantik
membawa buket bunga lily, aku mencoba mengingat siapa ia “Mbak Dinda lupa ya?
Aku Nania mbak” katanya tersenyum “Nania? Maaf mbak pangling sama sampeyan
makin cantik ya sekarang” aku teringat sekarang “Selamat ya mbak, mbak Dinda
ini ada titipan dari mas Fikri jangan lupa suratnya dibaca.” Kuterima buket
bunga lily yang terdapat sepucuk surat yang terbungus rapi dalam amplop berwarna
hijau muda warna kesukaanku, tak kusangka ia mengirim buket ini “Mbak.. Mas
Fikri menitipkan buket ini ke Namia karena Mas Fikri tadi pagi ada tugas ke
Solo tapi katanya cuma sementara kok, oh
iya mbak, ibu titip salam katanya pingin mbak Dinda sowan ke rumah lagi”
“Waalaikum salam, mbak titip salam balik keibu ya,
insyallah jika ada waktu nanti ke sana terimakasih ya Nania buketnya” ucapku
bahagia.
********
Sepuluh tahun wus lumaku tansah ndak simpen
rapet njroning kalbu
Ora bisa luntur dening
lumaking wektu amerga iku tulisan-tulisan Gusti kang kudu dak lakoni
ora bisa ilang esem
manismu ora bakal musna sorot netramu pra dak selaki aku nate nyimpen rasa
marang Dinda.
Din.. sak tenane aku
tresna marang sampeyan, Apa sampeyan isih gelem ngenteni aku lan kluwargaku
sowan menyang omahe sampeyan, Aku kepingin sampeyan sing ngancani urip lan
matiku.
Kubuka
surat dari Fikri, tak kusangka ternyata ia selama ini mencintai aku, kami
bersahabat sudah lama aku mengenalnya saat SMP ketika SMA kami berpisah dan aku
mengenal temannya yaitu Bagus sejak itu hubungan kami semakin dekat. Sekarang aku
semakin bimbang mas Bagus juga hendak melamarku.
“Nduk, Dinda.. mbah ngerti iki pilihan sing abot kanggo
sampeyan, ana pria loro sing kepingin nglamar Dinda podo-podo baguse, sing siji
penguasaha wis mapan lan Bagus, guru coba
sampeyan pilih nganggo ati ojo nganti sampeyan salah pilih amergo iki kanggo
selawase” kata mbah saat aku menceritakan isi surat dari Dani namun aku hanya
diam.
Satu
minggu sesesudahnya aku memutuskan menyusul ibu dan bapak di Kalimantan, aku
juga ada penempatan kerja disuatu sekolah pedalaman di sana, ku langkahkan kaki
ku sungguh berat rasanya meninggalkan mbah di rumah sendirian namun mbah selalu
mendukungku untuk tetap menerima tawaran kerja itu “Nduk, cah ayu ati-ati ya,
mbah bakalan kangen banget karo cah ayu ku tapi wes Dinda kudu tetep budhal,
iki tugas mulia nduk” ucapnya tegar membuatku meneteskan air mata “injih mbah,
kula bakal cepet wangsul mriki maleh” dan dengan berat hati mbah melepaskan
pelukanku.
“Dinda.. sampeyan dak enteni tekamu ing tanah Jawa
iki, aku bakal ngenteni jawabmu.”
Kulangkah kakiku, bandara Djuanda Surabaya menjadi
saksi perpisahanku, mbah, Fikri, dan Bagus serta jawaban yang masih kusimpan
dalam kalbu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar